Adapunpenulisan kalimat darkah yaa ahlal madinah adalah inisiatif dari Hb.Abu bakar sendiri, yg diambil dari Qosidah Hb. Muhammad bin Idrus, yang banyak berisi tentang tawasul-tawasul dengan Ahlul Madinah (Rosulullah SAW beserta keluarganya, sahabatnya), termasuk juga kalimat Yaa Tarim Wa Ahlaha, yang merupakan tawassul kepada para shalihin dan lebih dari
Pengalaman batin kerap kali dirasakan mereka pada suasana genting di mana hajat mereka kepada Allah menguat. Saat melewati masa-masa genting, manusia kerap merasakan kedekatan dengan Allah dibanding ketika ibadah formal seperti shalat, puasa, zakat, atau haji. Hal ini disinggung oleh Syekh Ibnu Athaillah RA pada hikmah berikut وجدت من المزيد في الفاقات مالا تجده في الصوم والصلاةArtinya, “Kadang kamu menemukan bonus di saat hajat-kritis yang tak kaudapati di saat shalat dan puasa.”Syekh Ibrahim Al-Aqshara’i As-Syadzili memahami dua kewajiban manusia terhadap Allah. Menurutnya, manusia memiliki kewajiban umum dan khusus. Kewajiban umum merupakan kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, dan perintah formal lainnya. Sedangkan kewajiban khusus merupakan pernyataan kefakiran manusia di hadapan-Nya bahwa kita bukanlah apa-apa dan siapa-siapa saat menjalani ibadah shalat, puasa, atau ibadah وذلك أن مطلوب الحق من الخلق مطلوبان مطلوب عام وهو الأعمال التي منها الصوم والصلاة ومطلوب خاص وهو شهود الفاقات منك ومما لك من الأعمال لشهود ما قام بك ربها من تجليات الأسماء والصفات، وهذا هو مفاد المطلوب الخاص منك في القيام بالمطلوب العام فإنك تجد به من المزيد لفنائك عنك وعنه ما لا تجده في الصلاة والصيام لثبوتك معك ومعهماArtinya, “Menurut saya, Allah memiliki dua tuntutan untuk manusia. Pertama, tuntutan umum, yaitu amal ibadah berupa puasa dan shalat. Kedua, tuntutan khusus, yaitu menyaksikan kondisi hajat-kritismu dan amal-amal yang dilekatkan padamu agar kamu menyaksikan penampakan asma dan sifat Allah yang diperbuat oleh-Nya terhadapmu. Ini merupakan makna dari tuntutan khusus terhadapmu di dalam memenuhi tuntutan umum-Nya. Pasalnya, kamu menemukan bonus ini karena kau fana dari dirimu dan dari tuntutan khusus tersebut yang tak kaudapati di saat shalat dan puasa karena kau hadir bersama shalat dan puasamu,” Lihat Syekh Burhanuddin Ibrahim Al-Aqshara’i As-Syadzili, Ihkamul Hikam, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, cetakan pertama, 2008 M/1429 H, halaman 113.Syekh Ibnu Abbad mencoba menjelaskan kenapa perasaan lebih dekat dengan-Nya dialami ketika manusia dalam kondisi genting dan hajat dibanding saat shalat, puasa, dan lain sebagainya. Menurutnya, ibadah shalat, puasa, dan seterusnya rawan disusupi nafsu dan syahwat yang menghalangi pandangan mata batin atas kehadiran dan peran Allah dalam ibadah الفاقات يحصل للمريد بها مزيد كثير من صفاء القلب وطهارة السريرة وقد لا يحصل له ذلك بالصوم والصلاة لأن الصوم والصلاة قد يكون له فيهما شهوة وهوى كما تقدم وما كان هذ سبيله لا يؤمن عليه فيه من دخول الآفات فلا يفيده تحلية ولا تزكية بخلاف ورود الفاقات فانها مباينة للهوى والشهوة على كل حال Artinya, “Kondisi hajat-kritis kerap memberikan banyak bonus berupa kebersihan hati dan kesucian batin bagi murid. Bonus ini kadang tidak ditemukan ketika shalat atau puasa karena syahwat dan dorongan nafsu menyertainya saat menjalani kedua ibadah itu sebagai uraian yang lalu. Kalau jalan itu memang tak selamat dari kemungkinan hama/penyakit, maka tidak berfaidah lagi padanya sifat-sifat terpuji dan upaya pembersihan dari sifat tercela, berbeda dengan kondisi hajat-kritis karena kondisi kritis ini bertolak belakangan dengan syahwat dan dorongan nafsu dalam segala keadaan,” Lihat Syekh Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa keterangan tahun, juz II, halaman 13.Hikmah ini tidak menganjurkan orang lain untuk mengurangi amal-ibadahnya. Pada hikmah ini Syekh Ibnu Athaillah menyatakan bahwa kewajiban manusia kepada Allah terbagi dua di mana kedekatan kepada-Nya bisa saja dirasakan meningkat ketika batin diliputi perasaan genting mencekam di luar ibadah formal. Wallahu alam. Alhafiz K hai sekalian manusia, bertakwalah kepada tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada allah yang dengan (mempergunakan) nama-nya kamu saling meminta satu sama lain, dan Hidup sering kali berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Bahkan rencana yang sudah kita perhitungkan dengan matang, juga kerap tidak terwujud sebagaimana yang kita inginkan. Tidak jarang berujung pada kegagalan. Ambyar. Tidak ada lagi harapan yang tersisa untuk bisa mewujudkannya. Begitulah memang, manusia hanya bisa menyusun rencana, ketetapan Allah bisa meruntuhkannya kapan saja. Karena itu, ada sebuah petuah bijak berkata, “Manusia mengatur rencana, keputusan Allah menertawakannya.” Kita juga kerap mencemaskan berbagai hal dalam kehidupan. Seperti rezeki, jodoh, keturunan, ujian, dan berbagai permasalahan yang kita temui sehari-hari. Padahal menurut Syekh Ibnu Athaillah, hasil dari semua itu sama pastinya dengan ajal yang akan mendatangi kita. Jadi, kita tidak perlu mencemaskan segala sesuatu yang sejatinya telah ditetapkan oleh Allah swt. Meski demikian, bukan berarti kita tidak perlu melakukan usaha atau ikhtiar sama sekali dalam setiap langkah yang akan kita jalani. Sebab, jika kita terlalu menganggap bahwa hidup kita selayaknya wayang, yang segala geraknya ditentukan oleh dalang, kita bisa tergolong sebagai kaum Qadariyah. Sebaliknya, jika kita terlalu berpegang pada ikhtiar dan kemampuan kita sebagai manusia yang lemah ini, kita bisa juga tergolong dalam kelompok Jabariyah. Itulah keistimewaan Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari 1260-1309 M dalam kitabnya ini. Beliau secara pas dan proporsional memadukan antara porsi ikhtiar dan tawakal. Kitab ini berbeda dengan al-Hikam, karya legendaris Ibnu Atha’illah yang menjadi rujukan utama ilmu tasawuf, yang berisi aforisme atau kalam-kalam hikmah pendek saja. Di dalam kitab at-Tanwir ini, Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari menguraikan kalam hikmahnya dengan narasi jelas yang rinci. Mengungkap kunci-kunci mencapai kehidupan yang tenang al-muthmainnah. Kehidupan yang berjalan tanpa rasa cemas dan kekecewaan. Penjelasannya di sini dipaparkan dengan ringan dan mudah dipahami. Sebab keindahan bahasa dan kedalaman makna yang diungkap oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam kitab al-Hikam, disebutkan dalam kitab Iqadh al-Himam fi syarh al-Hikam bahwa, “Seandainya dalam shalat dibolehkan untuk membaca selain ayat-ayat al-Quran, bait-bait dalam kitab ini sangat layak untuk itu.” Sungguh dahsyat memang. Kabar baiknya, dalam kitab at-Tanwir yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini, Ibnu Atha’illah tidak berubah. Meski menjelaskan dalam bentuk narasi, beliau tetap menyusun kata demi kata dengan indah dan penuh muatan hikmah. Uraian dalam kitab ini diperkaya dengan banyak petikan ayat al-Qur’an dan hadis Nabi. Sesekali diselingi dengan bait syair gubahannya dan ungkapan ulama yang menggugah nurani. Di tangan Ibnu Atha’illah pula, tasawuf yang terkesan sulit dipahami oleh nalar orang biasa dan cenderung menggunakan bahasa langit, menjadi sangat membumi aplikatif, solutif, dan relevan untuk menjawab berbagai problematika hidup manusia modern saat ini. Terutama menjawab berbagai problem kecemasan yang semakin banyak melanda jiwa-jiwa yang kering dari limpahan kasih-Nya. Jika kita renungi dengan saksama, seperti disebutkan dalam kata pengantar buku versi terjemahan ini, salah satu bait dalam kitab al-Hikam berikut dapat dikatakan sebagai ringkasan atau inti sari dari seluruh pembahasan yang diuraikan dalam kitab at-Tanwir ini, أَرِحْ نــَفْسَـكَ مِنَ الـتَّدْبِــيْرِ، فَمَا قَامَ بِـهِ غَيْرُ كَ عَـنْكَ لاَ تَـقُمْ بِـهِ لِنَفْسِكَ Artinya “Istirahatkan dirimu dari kesibukan mengurusi dunia, apa yang telah Allah atur tidak perlu kau sibuk ikut campur.” Ibnu Atha’illah mendorong kita untuk memasrahkan urusan duniawi yang sudah Allah atur, dan hendaknya kita tidak perlu kita ikut sibuk mengurusinya. Karena dirasa sangat mewakili kandungan dari kitab ini, penerbit Turos Pustaka menjadikannya inspirasi dalam memberi judul terjemah kitab at-Tanwir ini, “Istirahatkan Dirimu dari Kehidupan Duniawi Apa yang Telah Diatur Allah, Tak Perlu Sibuk Kau Ikut Campur”. Ada banyak sekali jawaban yang dijabarkan oleh Ibnu Athaillah yang sangat relevan dengan beragam persoalan yang kita hadapi hari-hari ini. Tentang rezeki misalnya, sebuah persoalan yang setiap manusia hadapi saat ini. Dengan sangat detail Ibnu Atha’illah berusaha menguraikan mulai dari mengapa Allah memberikan manusia ruang untuk mencari rezeki? Mengapa tidak Allah swt. penuhi saja semua kebutuhannya tanpa perlu mencarinya? Dalam bagian lain Ibnu Athaillah menjelaskan bagaimana Allah menjamin rezeki dan segala kebutuhan hamba-Nya. Dijelaskan juga bagaimana cara seorang hamba untuk menyelaraskan antara ikhtiar dan tawakal dalam segala usaha yang dilakukannya. Di bagian pungkasan, beliau memberi kita doa agar rezeki dan segala usaha kita diberi kelancaran oleh Allah swt. Seperti disebutkan tadi, dalam buku ini Imam Ibnu Athaillah secara garis besar membahas komposisi antara ikhtiar dan tawakal secara proporsional. Atau secara umum, sesuai judulnya, At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, membahas tentang tadbir Allah. Seorang ulama sekaligus filsuf muslim pertama di Spanyol, Ibnu Bajjah menjelaskan dalam bukunya Tadbir al-Mutawahhid bahwa kata tadbir sering ini digunakan dengan makna yang berbeda-beda. Namun umumnya dimaknai sebagai, “Mengatur tindakan untuk sebuah tujuan yang direncanakan.” Tadbir digunakan dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan. Karena Allah swt. adalah mudabbir, Yang Maha Mengatur. Sebab demikian, tadbir yang paling hakiki adalah tadbir Allah. Sedangkan penggunaan istilah ini bagi manusia hanya sebagai analogi saja. Di tengah pandemi yang tidak menentu seperti sekarang ini, seringkali perencanaan yang telah kita tentukan tidak dapat direalisasikan, meski segala bentuk ikhtiar telah diupayakan. Hal itu tentu membuat lelah, bahkan tidak jarang berujung kecewa. Kecemasan juga kerap melanda, terutama ketika menghadapi berbagai macam persoalan kehidupan dunia. Hidup seakan mendadak muram dan berjalan tanpa ada harapan. Buku ini adalah jawaban untuk berbagai problem tersebut, karenanya sangat perlu untuk kita baca dan pelan-pelan amalkan hari ini. Saat ini, setelah segala ikhtiar yang kita lakukan, kita hanya butuh menenangkan jiwa, menepi sesaat dari segala kesibukan dunia, lalu berserah diri pada Allah swt. Dapat disimpulkan bahwa sejatinya manusia tidak sama sekali mempunyai kemampuan untuk mengatur rencana takdirnya. Wilayah manusia hanya sebatas pada ikhtiar dan tawakal. Selebihnya, setelah berusaha dan berikhtiar sekuat tenaga dalam menggapai berbagai urusan dunia, manusia hanya tinggal memasrahkan segalanya kepada Allah swt, Sang Pengatur semesta. Kita tidak perlu sibuk turut serta mengatur hasil akhirnya. Biarkan itu semua menjadi keputusan Allah semata. Dengan begitu, hidup kita akan menjadi lebih tenang dan bahagia. Wallahu a’lam. Peresensi M Farobi Afandi, editor buku dan alumni Pesantren Ciganjur Identitas Buku Judul Istirahatkan Dirimu dari Kesibukan Duniawi Kitab at-Tanwir Penulis Ibnu Athaillah as-Sakandari Penerjemah Zulfahani Hasyim, Lc. Tebal 428 halaman Tahun 2021 Penerbit Turos Pustaka ISBN 978-623-7327-57-8 ResepCinta Ibnu Athaillah 28. Sepucuk Surat di Hari Penghabisan 29. Tangis Sang Pengantin 30. Bunga-bunga Harapan. SENJA BERTASBIH Jodoh dalam keyakinannya adalah dipilih. Ya, dipilihkan oleh Allah. Manusia hanya berusaha, berikhtiar. Dan apa yang ia lakukan pada pagi buta
Dalam kehidupan, tidak setiap harapan manusia dapat tercapai. Kadang berhasil, kadang gagal. Kadang sukses, kadang kurang beruntung. Umumnya orang akan kecewa bila harapan atau keinginannya tak tercapai. Tapi bagi seorang muslim, sebenarnya bagaimana sikap terbaik ketika harapannya tak tercapai? Kalam Hikmah Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam masterpiecenya, al-Hikam, menyatakan رُبَّمَا أَعْطَاكَ فَمَنَعَكَ وَرُبَّمَا مَنَعَكَ فَأَعْطَاكَ Artinya, “Bisa jadi Allah memberimu suatu anugerah kemudian menghalangimu darinya; dan boleh jadi Allah menghalangimu dari suatu anugerah kemudian Ia memberimu anugerah yang lain.” Menurut Imam Ibnu Athaillah, anugerah yang sebenarnya dan patut disyukuri adalah anugerah memeluk agama Islam sebagai nikmat yang sangat hakiki. Segala pemberian yang Allah berikan tidak ada yang dapat menandingi anugerah keislaman seseorang. Orang yang masih memeluk agama Islam berarti masih menikmati anugerah yang sangat besar dari Allah. Dengan kalam hikmah di atas, Imam Ibnu Athaillah seakan hendak menyampaikan, terkadang Allah memberikan sesuatu yang dianggap baik menurut pikiran manusia, namun tanpa disadari pemberian itu sebenarnya menghalangi dirinya dari taufiq dan hidayah untuk semakin dekat kepada-Nya. Apalah artinya terpenuhi semua harapan, sementara cahaya Islam dan iman di hati justru padam? Namun, yang sering terjadi adalah manusia sulit memahami hakikat anugerah yang diberikan Allah. Ketika harapannya tidak sesuai kenyataan, betapa banyak manusia yang sering menyalahkan takdir, seolah Allah tidak adil kepadanya. Padahal, jika mau memahami, semestinya ia akan sadar bahwa semua anugerah yang telah Allah berikan maupun yang Allah halangi darinya merupakan kebaikan yang hakiki baginya. Imam Ibnu Athaillah melanjutkan kalam hikmahnya مَتَى فَتَحَ لَكَ بَابُ الْفَهْمِ فِي الْمَنْعِ عَادَ الْمَنْعُ عَيْنَ الْعَطَاءِ Artinya, “Ketika Allah membukakan pintu pemahaman kepadamu tentang pecegahan-Nya dari suatu anugerah, maka penolakan Allah itu pun berubah menjadi anugerah yang sebenarnya.” Penjelasan Ibnu Ajibah Syekh Ibnu Ajibah dalam kitabnya Îqâdhul Himam mengibaratkan pemberian Allah kepada manusia dengan orang yang diundang ke suatu jamuan makanan di tempat gelap tanpa lampu. Makanan yang tersedia sangat banyak, namun bisakah saat itu ia mengetahui makanan mana yang akan diambil dan yang akan dimakan? Begitulah pemberian Allah kepada manusia, ketika diberi kecukupan di satu sisi, ia akan selalu merasa kekurangan di sisi lainnya. Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam Syarhu Matnil Hikam, [Bairut, Darul Ma’rifah 2000], halaman 97. Kalam hikmah Imam Ibnu Athaillah di atas terkonfirmasi oleh ayat Al-Qur’an وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ، وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Artinya, “Boleh jadi kalian tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagi kalian; dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.” QS al-Baqarah216 Karenanya, orang-orang pilihan yang telah mencapai derajat ma’rifat billâh, sering merasa takut ketika ia menerima anugerah Allah. Syekh Ibnu Ajibah mengatakan اَلْعَارِفُوْنَ إِذَا بُسِطُوا أَخْوَفُ مِنْهُمْ إِذَا قُبِضُوْا Artinya, “Orang-orang ârifbillâh lebih takut ketika diberikan kelapangan daripada diberikan kesempitan.” Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam, halaman 97. Terpenuhinya semua harapan merupakan kebahagiaan dan seakan menjadi nikmat yang sangat besar. Namun, semua itu justru menakutkan bagi orang-orang ârifbillâh. Kenapa demikian? Sebab, bagi mereka dalam keadaan sempit orang yang dekat kepada Allah akan lebih tenang dan lebih tentram menjalankan semua perintah-Nya. Sedangkan dalam keadaan semua keinginan terpenuhi, orang akan berpotensi sombong dan tidak bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya. Dalam menyikapi kelapangan dan kesempitan hidup, Syekh Ibnu Ajibah mengatakan اَلْبَسْطُ تَأْخُذُ النَّفْسُ مِنْهُ حَظَّهَا بِوُجُوْدِ الْفَرْحِ، وَالْقَبْضُ لَاحَظَّ لِلنَّفْسِ فِيْهِ Artinya, “Dalam kelapangan hidup, nafsu manusia ikut ambil bagian menikmatinya, sebab adanya rasa gembira; sedangkan dalam kondisi sempit, nafsu manusia tidak ikut ambil bagian merasakannya.” Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam, halaman 97. Begitulah kelapangan, ia bisa menjadi faktor yang menumbuhkan kecenderungan nafsu untuk melupakan Allah yang memberikan anugerah. Orang yang lapang cenderung memanjakan dirinya dengan segala sesuatu yang diinginkan. Sikap memanjakan diri inilah yang terkadang menjadi penyebab orang lalai. Seolah, saat demikian kewajiban agama menjadi beban dan ibadah pun dilakukan dengan hati gundah tidak ikhlas. Berbeda ketika dalam kondisi sempit atau kesusahan. Banyak hal yang tertahan dan tidak bisa didapatkan. Kondisi penuh keterbatasan menjadikan manusia tidak dapat memanjakan dirinya. Karenanya, tidak ada godaan untuk lalai memanjakan diri dan kewajiban agama pun dapat ditunaikan tanpa beban. Bagaimana mungkin bisa memanjakan diri, sedangkan ia dalam keadaan yang kurang? Dalam kesempatan lain Syekh Ibnu Ajibah mengibaratkan manusia seperti anak kecil yang masih sangat polos dan tidak tahu apa-apa, yang menginginkan manisan atau permen beracun. Ia berkata فَكُلَّمَا بَطَشَ الصَّبِيُّ لِذَلِكَ الطَّعَامِ رَدَّهُ أَبُوْهُ، فَالصَّبِي يَبْكِي عَلَيْهِ لِعَدَمِ عِلْمِهِ، وَأَبُوْهُ يَرُدُّهُ بِالْقَهْرِ لِوُجُوْدِ عِلْمِهِ Artinya, “Ketika Si Anak mengambil makanan beracun, Sang Ayah menolaknya; maka Si Anak menangisinya karena ketidaktahuannya, sedangkan Sang Ayah menolaknya secara paksa karena tahu ada racunnya.” Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam, halaman 100. Begitulah gambaran hubungan manusia dengan Allah swt berkaitan dengan anugerah dan harapan. Manusia tak ubahnya seperti anak kecil yang masih lugu dan sangat polos, sementara Allah menghalangi berbagai harapan dan keinginannya karena bahaya yang tidak diketahuinya. Penilaian akhir yang paling baik dalam hidup adalah ketika sesuai dengan kehendak-Nya. Sangat mungkin, segala anggapan baik yang manusia wacanakan, justru merupakan keburukan yang tidak Allah inginkan. Tidak ada hal yang lebih baik atas semua kejadian yang menimpa manusia melainkan dengan mempelajari dan menggali hikmah demi meraih keridhaan-Nya. Sebab setiap ketentuan Allah selalu beriringan dengan kebijaksanaan-Nya. Syair Imam al-Bushiri Kalam hikmah Imam Ibnu Athaillah yang kemudian dijelaskan secara panjang lebar oleh Syekh Ibnu Ajibah di atas selaras dengan syair Imam al-Bushiri dalam al-Burdah كَمْ حَسَّنَتْ لَذَّةً لِلْمَرْءِ قَاتِلَةً *** مِنْ حَيْثُ لَمْ يَدْرِ أَنَّ السَّمَّ فِى الدَّسَمِ Artinya, “Betapa banyak kenikmatan justru berujung pada kematian, karena orang tidak menyadari bahaya racun yang terkandung di dalamnya.” Wallâhu a’lam. Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop, Bangkalan.
TahukahAnda kalau ternyata kata bijak yang terdengar indah dan bermakna. Kata-Kata Bijak Ibnu Athaillah. Kata Kata Bijak Ala Ilmu Nahwu By bijak Posted on October 2 2019. Al- Ghazali Hendaklah kamu semua mengusahakan ilmu pengetahuan itu sebelum dilenyapkan. Ia banyak menimba ilmu dari beberapa syeh secara bertahap.
Tidak sedikit dari kita kerap berburuk sangka kepada Allah. Kita sering mengira bahwa Allah mengabaikan hamba-Nya hanya karena bencana dan derita yang kita alami. Padahal ujian dan cobaan yang kemudian “memaksa” kita untuk bermunajat kepada-Nya adalah cara Allah memilih hamba-Nya. Hal ini disinggung dengan jelas oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam hikmah berikut أطلق لسانك بالطلب فأعلم أنه يريد أن يعطيكArtinya, “Ketika Allah SWT menggerakkan lidahmu melalui sebuah doa, ketahuilah bahwa Dia ingin memberikan karunia-Nya kepadamu.”Dari sini kita dapat memahami bahwa orang-orang yang berdoa dan bermunajat merupakan hamba-hamba pilihan Allah. Ketika Allah menjatuhkan pilihan-Nya kepada kita atas sebuah cobaan, pada hakikatnya Dia mengasihi kita yang kemudian memperkenankan kita untuk bermunajat kepada-Nya. Demikian uraian Syekh Ibnu Abbad atas hikmah أنس بن مالك رضى الله عنه قال قال رسول الله إذا أحب الله عبدا صب عليه البلاء صبا وسحه عليه سحا فإذا دعا قالت الملائكة صوت معروف وقال جبريل يا رب عبدك فلان اقض حاجته فيقول الله "دعوا عبدي فإني أحب أن أسمع صوته" فإذا قال يا رب قال الله تعالى لبيك عبدى وسعديك لاتدعونى بشئ الا استجبت لك ولا تسألنى شيئا الا أعطيتك إما أن إعجل لك ما سألت وإما أن أدخر لك عندى أفضل منه وإما أن أدفع عنك من البلاء ما هو أعظم من “Anas bin Malik RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bila Allah jatuh cinta kepada salah seorang hamba-Nya, maka Allah mengucurkan dan mengalirkan ujian kepadanya. Kalau ia lantas bermunajat, malaikat bergumam, suara orang ini tak asing.’ Lalu Jibril memberanikan diri, Ya Allah, itu suara si fulan, hamba-Mu. Penuhilah permintaannya.’ Allah menjawab, Para malaikat, biarkanlah ia. Aku senang mendengar suara munajatnya.’ Kalau ia menyeru, Tuhanku.’ Allah menjawab, Labbaik wa sadaik aku sambut panggilanmu wahai kekasih-Ku. Tiada satupun yang kau doakan, melainkan pasti Kukabulkan. Tiada satupun permintaanmu, melainkan pasti Kuberikan. Bisa jadi Kukabulkan segera doamu. Bisa jadi Kutangguhkan permintaanmu dan Kuganti dengan yang lebih baik. Bisa jadi juga Kuhindarkan dirimu dari bala yang lebih berat ketimbang bencana itu,’’” Lihat Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, juz I, halaman 76.Syekh Ibnu Abbad mengutip hadits Rasulullah SAW bahwa mereka yang dikasihi dan dicintai Allah adalah hamba-hamba-Nya yang diperkenankan untuk bermunajat kepada-Nya berlama-lama melalui pintu ujian dan cobaan. Allah menginginkan mereka yang menerima cobaan untuk sering-sering bagaimana dengan pengabulan doa dan permohonan dalam munajat kita? Lagi-lagi, kita tidak perlu khawatir. Allah takkan mengingkari dan menelantarkan hamba-Nya sebagai disinggung Syekh Syarqawi berikut عليه الصلاة والسلام من أعطى الدعاء لم يحرم الإجابة أى اما بعين المطلوب أو بغيره عاجلا أو آجلا قال بعضهم هذا اذا كان الدعاء صادرا عن اختيار وقصد أما اذا جرى على اللسان من غير قصد فان الاجابة بعين المطلوب لا تكاد تتخلفArtinya, “Rasulullah SAW bersabda, Siapa saja yang dikaruniakan ibadah doa, maka ia takkan luput dari ijabah,’ baik ijabah atas hajat yang disebutkannya di dalam doa maupun ijabah atas hajat yang tidak disebutkan substitusi entah dalam waktu seketika atau ditangguhkan. Sebagian ulama memahami bahwa itu berlaku pada doa yang didasarkan pada saat orang memiliki pilihan dan disengaja. Untuk doa yang terlompat begitu saja dari mulut tanpa sengaja dan terencana, ijabah atas hajat yang terucap hampir-hampir tidak meleset dan tidak tertunda,” Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Indonesia, Daru Ihyail Kutub Al-Arabiyah, juz I, halaman 75.Penjelasan Syekh Syarqawi ini jelas bahwa doa pasti dikabulkan tetapi dalam tempo yang tidak bisa ditentukan dan dalam bentuk yang tidak bisa kita pastikan. Bisa jadi kita menunggu-tunggu pengabulan doa dan hajat kita, padahal Allah sudah kabulkan dalam bentuk yang lain. Ini juga yang kerap membuat kita berburuk sangka kepada samping itu, orang yang berdoa terbagi atas dua kondisi. Ada mereka yang sedang dalam kondisi lapang sehingga mereka berdoa dengan terencana. Tetapi ada orang yang bermunajat kepada Allah dalam kondisi darurat, terjepit, kepepet, sehingga mereka tidak lagi berdoa secara terencana. Mereka yang kepepet dan dalam kondisi darurat kerap diijabah Allah sesuai bentuk hajat yang mereka perlukan, yaitu mereka yang kelaparan, yang membutuhkan jaminan perlindungan dan keamanan, mereka yang membutuhkan hak hidup, mereka yang dalam kondisi sulit dan sempit lainnya. Doa atau munajat di sini bisa dalam bentuk ubudiyah semata penghambaan kepada Allah dan menganggap bahwa doa memang bagian dari ibadah. Tetapi ada juga mereka yang berdoa dan bermunajat kepada Allah karena spontanitas semata-mata lantaran kepepet dan tidak menemukan jalan lain yang memang tidak menganggap doa sebagai salah satu bentuk ibadah sebagaimana disinggung Syekh Zarruq Lihat Syekh Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 99. Wallahu alam. Alhafiz K

BiografiSingkat Ibnu Atha'illah Kata Mutiara Ibnu Atha'illah as-Sakandari - JAGAD BATIN - Salah satu ulama besar yang mendunia adalah Ibnu Athaillah. Beliau lahir di Mesir pada tahun 648 H/1250 M. Nama lengkap beliau adalah Syekh Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Beliau juga dikenal sebagai tokoh Islam yang produktif. Dalam sejarah

ArticlePDF Available AbstractThis paper discusses about the concept of makrifat and its relevance to the spiritual in modern era. Sufi’s makrifat is not the result of speculative reasoning, but the result of direct testimony. Therefore, the problem to be answered about the essence and experience of divinity has always been a mystery. By analyzing critically, this study resulted in the finding that the concept of makrifat according to Ibnu Ata Allah is the essence of tauhid that combines Islam, Iman and Ihsan. He has explored the aspects of jadzab’ in reaching makrifat. The spiritual experiences toward the essence of divinity which is not represented in the form of witnessing the absolute oneness syuhūd al-aḥadiyyah became the main characteristic of his makrifat. This condition is contrary to the ideology of modern materialism that nullify the spiritual and assume that the physical world is the essence of everythings. Thus, according to Ibnu Ata Allah, makrifat has found a great momentum wherein it reach this level, ārif must look at the world on Allah’s will. Besides that, an ārif will see at the absolute oneness syuhūd al-aḥadiyah which is outside the scope of human reasoning when they get the level of wusṣūl in makrifat form. The view that be felt by ārif bi Allāh give their psychological side affects. They felt fanā, jam`, ghaibah, sakr and another more perfect condition. The testimony and their spiritual condition affecting their vision on the world. Where they watched fi`l by fi`l, ṣifah by s}ifah also dzāt by dzāt . Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Vol. 14, No. 2, September 2016Konsep MakrifatIbnu Athaillah al-SakandariMoh. Isom Mudin*Universitas Darussalam UNIDA GontorEmail moza_ifa paper discusses about the concept of makrifat and its relevance to the spiritualin modern era. Sufi’s makrifat is not the result of speculative reasoning, but the result ofdirect testimony. Therefore, the problem to be answered about the essence and experienceof divinity has always been a mystery. By analyzing critically, this study resulted in thefinding that the concept of makrifat according to Ibnu Athaillah is the essence of tauhidthat combines Islam, Iman, and Ihsan. He has explored the aspects of jadzab’ in reachingmakrifat. The spiritual experiences toward the essence of divinity which is not representedin the form of witnessing the absolute oneness syuhu>d al-ah}adiyyah became the maincharacteristic of his makrifat. This condition is contrary to the ideology of modernmaterialism that nullify the spiritual and assume that the physical world is the essence ofeverythings. Thus, according to Ibnu Athaillah, makrifat has found a great momentumwherein it reach this level, a>rif must look at the world on Allah’s will. Besides that, an a>rifwill see at the absolute oneness syuhu>d al-ah}adiyah which is outside the scope of humanreasoning when they get the level of wus}u>l in makrifat form. The view that be felt by a>rifbi Alla>h give their psychological side affects. They felt fana>, jam`, ghaibah, sakr andanother more perfect condition. The testimony and their spiritual condition affectingtheir vision on the world. Where they watched fi`l by fi`l, s}ifah by s}ifah also dza>t bydza> Makrifat, Sulu>k, Jadzab, Ah}adiyyah, Ah’.AbstrakTulisan ini membahas tentang konsep makrifat menurut Ibnu Athaillah al-Sakandaridan relevansinya dengan spiritual di zaman modern. Makrifat para sufi bukanlah hasilpenalaran spekulatif, melainkan hasil dari penyaksian langsung. Oleh karena itu, masalahyang akan dijawab tentang hakikat dan pengalaman ketuhanan selalu menjadi menganalisis secara kritis, penelitian ini menghasilkan temuan bahwa konsep* Fakultas Ushuluddin Universitas Darussalam Gontor. Jl. Raya Siman 06, Ponorogo,Jawa Timur 63471. Tlp +62352 483764, Fax +62352 Jurnal Studi Agama dan Pemikiran IslamAvailable at Moh. Isom Mudin156Journal KALIMAHmakrifat Ibnu Athaillah adalah inti tauhid yang menggabungkan Islam, Iman, danIhsan. Ibnu Athaillah mengeksplorasi aspek jadzab’ dalam menggapai spiritual akan hakikat ketuhanan yang tidak tergambarkandalam bentuk penyaksian keesaan mutlak syuhu>d al-ah}adiyyah menjadi ciri utamamakrifatnya. Hal seperti ini sangat bertentangan dengan paham materialisme modernyang menihilkan spiritual dan menganggap bahwa dunia fisik adalah hakikat segalasesuatu. Maka, makrifat Ibnu Athaillah menemukan momentumnya di mana ketikamencapai derajat ini seorang a>rif harus menyikapi dunia ini sesuai kehendak Allah. Disamping itu, para a>rif akan melihat keesaan mutlak syuhu>d al-ah}adiyah, yangjangkauannya berada di luar daya nalar manusia pada saat mereka mencapai tingkatanwus}u>l dalam bentuk makrifat. Penglihatan yang dialami seorang a>rif bi Alla>h tersebut,memengaruhi sisi psikologis mereka. Mereka merasakan fana>, jam`, ghaibah, sakr, dankondisi yang lebih sempurna. Penyaksian dan kondisi spiritual mereka memengaruhipenglihatan mereka pada alam sekitar. Di mana mereka menyaksikan fi`l dengan fi`l,s}ifah dengan s}ifah, serta dza>t dengan dza> Kunci Makrifat, Sulu>k, Jadzab, Ah}adiyyah, Ah’.PendahuluanMemperbincangkan makrifat dalam kajian tasawuf al-marifah al-s}u>fiyyah adalah sesuatu hal yang cukupmenarik, menantang, dan sangat urgen. Menariknyaadalah bahwa al-marifah al-s}u>fiyyah ini bukanlah hasil penalaranspekulatif,1 melainkan hasil dari penyaksian batin secara langsungmusya>hadah.2 Penyaksian batin ini bersifat sangat eksklusif,karena merupakan bentuk dari pengalaman rasa’ dzawq parasufi yang tentunya berbeda antara satu dengan yang lain. Selanjut-nya, pengalaman rasa’ para sufi tidaklah mudah untuk diubahmenjadi sebuah teori, karena meneorikan perasaan dan pengalam-an batin apabila berhasil tentu akan menjadi prestasi yangmempunyai nilai plus’, namun juga bisa menurunkan martabatal-marifah al-s}u>fiyyah’ itu sendiri, karena goresan pena sejatinyakurang memadai pesan-pesan perasaan batin. Itulah sebabnya, para1 William C. Chittick, Sufism a Short Introduction, UK One World Publication,2007, Muhammad al-Adluni al-Idrisi, Mujam Mus}t}ala>h}a>t al-Tas}awwuf al-Falsafiy,Jordan Da>r al-Tsaqa>fah, 2002, 189; Ibrahim Madzkur, Al-Mujam al-Falsafi, Kairo al-Haiah al-Amah, 1983 M/ 1403 H 186-187; Al-Qusyairi, Risa>lah Qusyairiyyah, Edited bySyekh Abd Halim Mahmud bin Syarif, Kairo Da>r al-Syab, 1989 M/1409 H, 176; Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Dira>sa>t fi> al-Falsafah al-Isla>miyyah, Kairo Maktabah al-Qa>hirah al-H{adi>tsiyyah, 1957, 148. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 157Vol. 14, No. 2, September 2016peneliti yang ingin berbicara mengenai al-marifah al-s}u>fiyyah’ditantang memaksakan diri’ untuk bisa merasakan apa yang dirasa-kan sufi yang dibicarakan3 walaupun pada level yang jauh berbedaagar tidak terkungkung dalam penjara makrifat sufi adalah Allah SWT yang bersifat tiadasesuatupun yang serupa dengan Dia’. Keberadaan-Nya di luarjangkauan akal pikiran. Oleh sebab itu, mereka membangun jalantersendiri untuk mencapainya. Dengan jalan yang berbeda tentuhasil makrifat’ tersebut berbeda pula. Mereka wus}u>l’ sampai padaAllah yang membuahkan pengalaman-pengalaman spiritual akanhakikat ketuhanan yang tidak tergambarkan. Salah satu tokoh yangakan dibahas dalam pembahasan ini adalah Ibnu Athaillah al-Sakandari yang mempunyai jalan’ tersendiri dalam tasawuf. Disini, penulis hendak mengetengahkan beberapa persoalan; bagai-mana hakikat makrifat? Bagaimana metode mencapainya, bagai-mana bentuk makrifat tersebut? Bagaimana kondisi spiritual paraa>rif bi Alla>h’?Sekilas tentang Ibnu Athaillah al-SakandariNama le n gkap Ibnu Atha i llah adalah Ahma d binMuhammad bin Abd al-Karim bin Athaillah al-Sakandari al-Malikial-Syadzili, bergelar S{a>h}i>b al-H{ikam’, Ta>j al-Di>n’,Tarjuman al-`An’. Lahir sekitar tahun 657 H-679 H dan wafat pada JumadalAkhir 709 Dengan demikian beliau hidup pada paruh keduaabad ketujuh dan memasuki awal abad kedelapan sosial masyarakat dan keagamaan di mana beliauhidup mempunyai pengaruh besar terhadap pemikirannya. Masya-rakat waktu itu terbagi ke dalam beberapa strata sosial; pemerintah,para intelektual, serta masyarakat Ibnu Athaillah sebagai3 Penelitian jenis seperti ini berhasil dilakukan oleh Imam al-Ghazali sehinggamenghasilkan kesimpulan bahwa sufi adalah kelompok yang paling benar. Lihat Abu Hamidal-Ghazali, Al-Munqidz min al-D{ala>l, Beirut al-Maktabah al-Syabiyah, Ibnu Hajar al-Asqalani, Al-Durar al-Ka>minah fi> Aya>n Miah al-Tsa>minah, Vol. 1,Beirut Da>r al-Ji>l, 1993 M, 273; Abd al-Munim, Al-Mausu>ah al-S{u>fiyyah Ala>m al-Tas}awwuf wa al-Munkiri>n alaih wa al-T}uruq al-S}u>fiyyah, Kairo Dar> al-Irsya>d, 1992,295; Ibnu Farhun al-Maliki, Al-Di>ba>j al-Madzhab fi> Marifah Aya>n Ulama>’ al-Madzhab,Vol. 1, Kairo Da>r al-Tura>ts, 1415 H, 242; Yusuf Ismail al-Nabhani, Ja>mi’ Kara>ma>t al-Awliya>’, Vol. 1, Gujarat Maraz Ahl Sunnat Barakat, 2001, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Ibn At}a>illah wa Tas}awwufuh, KairoMaktabah al-Mis}riyyah, Cet. 2, 1969, 31-32. Moh. Isom Mudin158Journal KALIMAHbagian dari para intelektual berperan aktif terhadap pemerintahdengan memberikan nasihat dan kritik yang Kondisikeagamaan adalah, bahwa mazhab Ahlusunnah waktu itu menjadimazhab resmi Mesir. Dalam masalah us}u>l mengikuti mazhab al-Asy’ari dan dalam masalah furu> mengikuti paradigma mazhabempat. Namun, mazhab mayoritas adalah mazhab Selainitu, juga banyak tokoh-tokoh sufi yang lain, maka tidak heranterdapat berbagai tarekat sufi, di antaranya al-Rifaiyah, al-Badawiyyah, al-Qadiriyyah, al-Syadziliyyah, dan Kondisiso sial k eagamaa n Me sir waktu itu me mbentuk kara intelektual-spiritual Ibnu Athaillah setidaknyaterbagi ke dalam tiga fase. Pertama, sebelum tahun 674 H sebelums}uh}bah’ dengan Syeikh al-Mursi, masa belajar berbagai disiplinilmu seperi Usul Fiqh, Fiqh, Tauhid, Tafsir, Hadis, Balaghah, danlain-lain, hingga beliau menjadi tokoh sentral dalam mazhabMaliki. Namun, beliau masih antipati terhadap tasawuf dan banyakberdebat dengan pengikut Syadziliyah murid-murid Syekh al-Mursi.9 Kedua, setelah tahun 674 H, pada masa ini beliau mengakuikebenaran tasawuf setelah melakukan s}uh}bah’ dengan Syeikh al-Mursi. Selain belajar sulu>k’ dengan Syekh al-Mursi, beliau jugamasih mempelajari berbagai disiplin ilmu sekaligus Ketiga, masa kematangan spiritual-intelektual. Setelah wafat-nya Syekh al-Mursi, beliau menjadi mursyid Tarekat Syadziliyahdan merumuskan dasar-dasarnya. Selain itu, beliau juga aktifmengajar beberapa disiplin ilmu pengetahuan di Universitas al-Azhar dan Universitas al-Mansuriyyah. Di antara mahasiswanyayang terkenal adalah Taqiyyuddin al-Subki H, Daud al-Bakhily, dan Abu Hasan Ibnu Athaillah al-Sakandari, Mifta>h} al-Fala>h} wa Mis}ba>h} al-Arwa>h} fi> Dzikrilla>h al-Kari>m al-Fatta>h}, Beirut Da>r al-Kutub al-Aif al-Mina>n. Edited by Abd Halim Mahmud, Mesir Da>r al-Ma’a>rif, Cet. 3, 2006, Al-Maqrizy, Al-Sulu>k li Marifah Duwal al-Mulu>k, Vol. 1, Edited by M. Abd al-Qadir Atha, Beirut Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997, 520-547; Al-Maqrizy, Al-Mawa>’iz}wa al-Itiba>r bi Dzikr al-Khut}at} wa al-Atsa>r, Vol. 4, Mesir Maktabah Ji>l, 1326 H, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Ibnu At}a>illah..., 62-63; Amir Najjar, Al-T{uruqal-S{u>fiyyah fi> Mis}r Nasyaatuha> wa Naz}muha> wa Wuruduha>, Kairo Da>r al-Maa>rif, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibid., 29, 40, 90, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Ibnu At}a>illah..., 62-63; Ibnu Hajar al-Asqalani,Al-Durar al-Ka>minah..., Vol. 1, 274. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 159Vol. 14, No. 2, September 2016 Ibnu Athaillah meninggalkan sekitar 24 karya merupakan Magnum Opus’ dan sekaligus mewakilimazhab tasawuf beliau. Beberapa karyanya yang lain yang masihbisa ditemukan adalah al-Muna>ja>h al-`At}a>iyyah, Was}iyyah liIkhwa>nihi bi Madi>nah al-Iskandariyah, al-Tanwi>r fi> Isqa>t} al-Tadbi>r,Lat}a>if al-Minan, Ta>j al-`Aru>s al-H{a>wi> li Tahdzi>b al-Nufu>s, al-Qas}dal-Mujarrad fi>Ma’rifat al-Ism al-Mufrad, Mifta>h}al-Fala>h}wa Mis}ba>h}al-Arwa>h}, `Unwa>n al-Tawfi>q fi> Ab al-T{ari>q. Sebagian besar karyabeliau berbentuk risa>lah’ uraian singkat dan padat.Hakikat Makrifat menurut Ibnu AthaillahIbnu Athaillah mendefinisikan makrifat ke dalam beberapaaspek. Pertama, secara etimologi makrifat adalah mencapaipengetahuan terhadap sesuatu terkait diri dan sifatnya sesuaidengan keadaan yang sebenar-benarnya. Kedua, definisi secaraterminologi terbagi ke dalam dua tingkat; khusus dan umum makrifat berarti menetapkan eksistensi Allah,mensucikan-Nya dari segala sesuatu yang tidak pantas bagi-Nya,dan menetapkan sifat-sifat-Nya dengan sebenar-benarnya sesuaidengan konsep yang digambarkan Allah pada diri-Nya secara khusus makrifat berarti bentuk penyaksian batinterhadap Allah. Definisi lain yaitu bentuk keyakinan yang dihasil-kan dari usaha-usaha Dengan demikian, Ibnu Athaillahmendefinisikan makrifat sesuai dengan stratifikasi spiritual sa>lik’,di mana pada strata pertama hanya bentuk penetapan wujud,penyucian, dan penyifatan. Sementara pada strata kedua denganpenyaksian secara seluruh realitas yang ada dalam pengenalan kepadaAllah menurut Ibnu Athaillah terbagi menjadi tiga. Pertama, tiadasatupun dalam realitas yang tidak mengenal Allah. Seluruh yang adaini mampu mengenal karakter umum nama-nama, sifat-sifat,perbuatan juga karakter zat-Nya. Makrifat inilah yang menjadi ke-wajiban pertama dalam Makrifat ini juga beliau sebut se-bagai ma’rifat al-h}aq’. Namun, istilah ma’rifat al-h}aq’ ini lebih di-tekankan pada objek asma>’ dan sifat Allah SWT tanpa disertai Ibnu Athaillah al-Sakandari, Mifta>h} al-Fala>h}..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Qas}d al-Mujarrad fi> Marifah al-Ism al-Mufrad,Edited by Mahmud Taufiq al-Hakim, Mesir Maktabah Madbu>li, 2002, Ibid., 139. Moh. Isom Mudin160Journal KALIMAHKedua, tiada satupun realitas yang ada dapat mengenal ini dari aspe k ih}a>t}ah’.15 Pengetahuan inimeliputi esensi dan eksistensi zat, sifat, dan perbuatan-Nya. Secararasio murni, mengenal Pencipta yang bersifat wujud absolut wuju>dal-mut}laq, tanpa permulaan dan akhiran, serta Esa dalam segalaaspeknya adalah nihil, karena termasuk dalam kategori al-ih}a>t}ah’objek dengan subjek-Nya ih}a>t}ah al-maf`u>l bi fa>’ilihi. Makrifat initidak mungkin bagi makhluk namun wajib bagi Allah, karena Diayang mengetahui secara absolut tanpa Makrifat ini juga iasebut dengan ma’rifat h}aqi>qah’. Namun, istilah ini lebih ditekankanpada objek zat Allah yang mengenal Allah hanya Allah. Pengetahuan inidari aspek penguatan informasi mutlak dengan pengetahuanmutlak tah}qi>q al-ih}a>t}ah bi ilmihi al-mut}laq. Allah mewujudkansegala yang wujud, mengadakan dan mengatur segala yang demikian, objek makrifat yang dikenal adalah zat,nama, sifat, dan perbuatan Allah. Seluruh realitas ciptaan-Nyamampu mengenal objek makrifat tersebut dengan kelemahanuntuk mengenal eksistensi dan esensi mutlak-Nya. Seluruhmakhluk tidak akan mampu mengetahui tentang esensi Tuhansesuai dengan pengetahuan Tuhan. Oleh sebab itu, Allah SWTdalam hal ini menjadi Subjek yang mengenal’ dan sekaligusmenjadi Objeknya sendiri yang dikenal’.Tampaknya, pembagian dalam kemungkinan pengenalanterhadap Allah ini juga dilakukan para sufi lain walaupun tidakpersis sama. Sufi-sufi tersebut seperti al-Kalabadzi, al-Thusi, danal-Kamsykhawi al-Naqsyabandi. Manusia hanya berkemungkinanmenetapkan sifat keesaan wah}da>niyyah sesuai dengan sifat-sifatAllah, makrifat yang seperti ini disebut ma’rifat al-h}aq’. Adapunsecara hakiki mereka tidak bisa mencapainya karena terhalang sifatal-s}amadiyyah’ dan hakikat ketuhanan secara mutlak tah}aqquq15 Al-Ih}a>t}ah adalah mempersepsikan idra>k sesuatu dengan sempurna baik luarmaupun dalam z}ahi>ran wa ba>t}inan, mengetahui sesuatu dari segala aspeknya. LihatMuhammad al-Adluny al-Idrisy, Mujam Mus}t}alah}a>t..., 10. Juga berarti mengetahui hakikatwujud objek, jenis objek, kadar materi objek, karakter objek, tujuan yang terbesit objek,segala yang ada tentang manfaat dan tidak bermanfaat bagi objek. Lihat Abu al-Baqa al-Kafawy, Mujam al-Kulliya>t fi> al-Mus}t}alah}a>t wa al-Furuq al-Lughawiyyah, Edited by AdnanDarwis dan Muhammad al-Musry, Beirut Muassasah al-Risa>lah, 1997, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Qas}d al-Mujarrad..., Ibid., Ibid., 135. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 161Vol. 14, No. 2, September 2016al-rubu>biyyah an al-ih}a>t}ah.19 Tetapi Ibnu Athaillah menjelaskanlebih terpernci dan adanya penambahan tah}qi>q al-ih}a>t}ah bi `ilmihial-mut}laq yang tidak dijelaskan sufi dan Jadzab; Sebuah Jalan PencapaianUntuk mencapai makrifat, para sufi umumnya menggunakanjalan sulu>k’. Dengan jalan ini, seorang sa>lik’ harus melewati jalanpanjang t}ari>qah, menempuh stasiun-stasiun spiritual maqa>ma>t,dan merasakan kondisi-kondisi jiwa ah}wa>l’, tentu dengan bentukpenyucian-penyucian diri tazkiyyah al-nafs dan olah batinriya>d}ah. Sehingga, dengan penyucian-penyucian tersebut, seorangsufi dapat sampai dalam bentuk makrifat Dengankata lain, sebagaimana ungkapan Ibnu Athaillah, jalan ini diawalidengan mu’a>malah’ dan berakhir dengan muwa>s}alah’.21Selain itu, para sufi juga menggunakan fenomena alam untukmengenal Allah. Hal ini seperti pernah dikatakan oleh Dzun al-Nunal-Mishri w. 145 bahwa mengenal Allah adalah dengan melaluibukti Imam al-Ghazali juga menyebutkan bahwajalan untuk mengenal Allah dan mengagungkan-Nya berada padamakhluk-makhluk-Nya, dengan memikirkan keajaiban Perwujudan alam makhlu>q adalah bukti perwujudan namaAllah. Perwujudan nama-nama-Nya adalah bukti perwujudanadanya sifat-Nya. Perwujudan tetap sifat-sifat-Nya adalah buktiperwujudan zat-Nya. Hal ini karena, mustahil sifat tersebut adadengan sendirinya tanpa ada zat yang disifati; yaitu Abu Bakar al-Kalabadzi, Al-Taarruf li Madzhab Ahl al-Tas}awwuf, Beirut Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993, 151; Abu Nashr Siraj al-Thusi, Al-Luma fi> al-Tas}awwuf, Editedby Abd Halim Mahmud and Abd al-Baqi al-Surur, Kairo Da>r al-Kutub al-H{adi>tsiyyah,1960, 5; Al-Kamsykhawi Naqsyabandi, Ja>mi al-Us}u>l fi> al-Awliya> wa Anwa>ihim waAws}a>fihim wa Us}u>l Kulli T{ari>qin wa Muhimmah al-Muri>d wa Syuru>t} al-Syaikh wa Kalimahal-S{u>fiyyah wa Is}t}ila>h{uhum wa Anwa> al-Tas}awwuf wa Maqa>ma>tuhum, Mesir al-Mat}baahal-Wahbiyyah, 1298 H, Abu al-Wafa al-Ghanaimi al-Taftazani, Dira>sa>t fi>..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Abd al-Qahir Mahmud, Falsafah al-S{u>fiyyah fi> al-Isla>m, Kairo Da>r al-Fikr al-Araby, 1966, Abu Hamid al-Ghazali, Al-H{ikmah fi> Makhlu>qa>t Alla>h Azza wa Jalla, KediriMuhammad Utsman, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah al-Kubra wa al-S}ugra wa al-Muka>taba>t, Beirut Da>r al-Kutub al-`Alamiyyah, 2006, 52-53. Argumen seperti ini jugadisebut itsba>t wuju>dillah’, setidaknya, ada tiga argument yang digunakan para filsuf danmutakalim 1 argumen keberadaan alam cosmology, 2 argumen sebab akibat causality, Moh. Isom Mudin162Journal KALIMAHJalan suluk yang digunakan tersebut di atas mendapat kritik-an filosofis-estetis dari Ibnu Athaillah. Menurutnya, jalan suluktersebut mempunyai kelemahan-kelemahan yang berkisar padasarana pembuktian mustadal bih dan pencari bukti mustadilalaih. Pertama, mustadal bih’ dalam jalan suluk adalah keberadaanalam yang mustahil bisa mengantarkan untuk mengenal adalah karena fenomena alam itu sendiri wujudnyamasih membutuhkan Allah. Bagi Ibnu Athaillah, seluruh eksistensiyang ada masih tergantung pada eksistensi Allah. Eksistensi yangada sebenarnya tidak lebih jelas dibanding Allah, sehingga manamungkin sesuatu tidak jelas mengantarkan kepada sesuatu yanglebih jelas. Allah juga tidak pernah tidak hadir dan selalu dekat,sehingga tidak perlu menggunakan instrumen sekunder berupakeberadaan alam untuk membuktikan kehadiran-Nya dan untuksampai kepada-Nya. Dengan kata lain, keberadaan Allah tidak perlupembuktian lagi karena Dia lebih jelas daripada bukti itu mustadil alaih’ menunjukkan kelemahan dirinya. Denganmenggunakan sarana sekunder menunjukkan bahwa merekabelum mencapai wus}u>l’ dan masih tergolong ahl h}ija>b’.25Selanjutnya, Ibnu Athaillah mengembangkan jalan tersendiriuntuk mencapai makrifat. Jalan ini disebut al-jadzab’ tarikanmetafisis dan sufi yang menggunakan jalan ini disebut arba>b al-jadzb’ atau majdzu>bi>n’. Jalan ini merupakan kebalikan jalan sejak permulaan perjalanannya, seorang sufi di-jadzab-kan oleh Allah dengan disingkapkan kesempurnaan zat-Nyasehingga langsung mengenal-Nya. Setelah mereka ditarik’langsung oleh Allah, baru kemudian melalui Allah, mereka akandikembalikan untuk menyaksikan sifat-Nya, lalu dikembalikanuntuk bergantung pada nama-Nya, kemudian dikembalikan untukmenyaksikan alam-Nya. Ibnu Athaillah mengistilahkan perjalananjadzab’ dengan penurunan tadally.2 6Seorang majdzu>b terlebih dahulu sampai kepada Allah, laludia secara perlahan-lahan dikembalikan oleh Allah ke jalandan 3 argumen kemungkinan contingency. Lihat Ibnu Sina, Kita>b al-Naja>t, Edited byMajid Makhri, Beirut Da>r al-Aq al-Jadi>dah, 1985 M, 276-277; Al-Syahrastani, Al-Milalwa al-Nih}al, Vol. 1, Kairo Muassasah al-H{alaby, 1968, 94; Ibnu Sina, Al-Isya>rat wa al-Tanbi>ha>t, Edited by Sulaiman Dunya, Mesir Da>r al-Ma`a>rif, 1957, Kesimpulan ini diambil dari hikmah dan munajatnya. Lihat Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 9, 19, 29, Ibid., 52-53. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 163Vol. 14, No. 2, September 2016mu’a>malah’.27 Jadi, dalam jalan jadzab ini bukan sufi yang inginmengenalkan dirinya pada Allah, tetapi Allah-lah yang inginmemperkenalkan diri-Nya pada hamba Ibnu Athaillah jalan ini lebih sempurna dibandingjalan para sufi umumnya. Pertama, hal ini karena dalam jalan jadzabseorang sufi mengerti kebenaran bagi pemiliknya, sehinggamenetapkan segala sesuatu dengan merujuk kepada pengenalan pada Allah dengan Allah sendiri, Allah sebagaiobjek juga sebagai sarana primer. Para arba>b al-jadzb sebenarnyatelah wus}u>l pada Menurut Ibnu Athaillah Seorang majdzu>b sebenar-nya juga melewati fase-fase spiritual, namun perjalanan dilakukanlebih cepat karena jalan jadzab ini pada hakikatnya jalan yang dilipattuwiyat oleh ina>yah Allah, bahkan tanpa persiapan membuat perumpamaan sufi suluk mencari air denganmenggali sumur sedikit demi sedikit, sehingga air keluar darilubang sumbernya. Sementara ini sufi jadzab seperti orang yangmencari air, tiba-tiba turun awan menurunkan hujan lebatpadanya, dan ia mengambil air seperlunya tanpa perlu antara kedua kelompok dan jalannya, konsep jadzab inilahyang mencirikan aliran tasawuf Ibnu Athaillah secara khususdengan sufi-sufi yang Menurut Syekh Zaruq, kedua jalan,suluk maupun jadzb adalah representasi tingkat ihsan’. Ihsanadalah engkau menyembah Allah seperti engkau melihat-Nya,apabila engkau tidak sanggup melihat-Nya, maka Dia Dalam hadis ini, ihsan tingkat pertama adalah sepertimelihat Allah dan yang kedua adalah merasa dilihat yang jadzab seperti melihat Allah adalah kelompokorang-orang yang telah mengenalnya di awal suluk. Kelompok sa>likadalah kelompok yang masih berada di bawah peringkat kelompok27 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 9, 29; Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Muna>ja>h al-Ilahiyyah, Munajat 19, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Ta>j al-Aru>s al-H{a>wi> li Tahdzi>b al-Nufu>s, KairoJawa>mi` al-Kalim, Ibnu Ibad al-Arundi, Ghaits Mawa>hib al-ASyarh} al-H{ikam al-At}a>iyyah,Jil. 2, Indonesia Da>r Ih}ya> al-Kutub al-Arabiyyah, Abu al-Husain Muslim, S{ah}i>h} Muslim, Riyadh Bait al-Afka>r al-Dauliyyah, 1998,6. Moh. Isom Mudin164Journal KALIMAHarif yang merasa dilihat Allah. Ia membuktikan Allah melalui pertama inilah yang ditempuh oleh Ibnu Athaillah danpara sufi dari kalangan Syadzi Den gan demikian,walaupun Ibnu Athaillah membangun jalan makrifat dengan jadzab,namun beliau tidak mengingkari jalan Makrifat; Penyaksian Keesaan MutlakMe n urut Ibnu Athaillah, Allah SWT mem iliki s ifatah}adiyyah’. Kata ini terbentuk kata al-ah}ad’ yang bemaknakesendirian mutlak dalam keesaan dengan tiada sesuatupun yangbersama-Nya’, al-ah}ad’ juga merupakan istilah yang digunakanuntuk menafikan keterbilangan Menurut Ibnu`Arabi, al-ah}adiyyah adalah martabat zat absolut. Allah dalammartabat ini merupakan wujud tunggal dan mutlak, yang belumdihubungkan dengan nama, sifat, dan sandaran, tidak menerimapembagian’. Jadi ah}adiyyah adalah totalitas dari potensi majmu>`kullihi bi al-quwwah.35 Allah ada dalam azali dengan tiada sesuatu-pun yang bersama-Nya, sifat ini tidak berubah dan selalu tetapseperti keadaan Keesaan mutlak ini tidak terjangkau olehangan-angan, akal pikiran yang mencapai tahapan makrifat akan menyaksikan sifatkeesaan Allah secara mutlak ini38 dengan h}aqq al-bas}i>rah’, bukandengan indra zahir atau spekulasi akal. Dalam pandangan matabatin seorang arif akan selalu terbesit bahwa hanya Allah-lah yangberhak menyandang sifat wujud absolut. Wujud segala sesuatuselainnya hanya bersifat relatif muqayyad,3 9 banyangan semuz}ill, nihil adam, bagaikan debu di udara al-haba’ fi> al-hawa.Hal ini Karena wujud relatifnya diwujudkan oleh Allah40 denganproses i>ja>d’ dan keberlangsungan wujudnya hanya karena Allahdengan adanya proses imda>d’.41 Oleh sebab itu, dalam tahap33 Zaruq al-Affasy, Qawa>id al-Tas}awwuf..., Ibnu Mandzur, Lisa>n al-Arab, Kairo Da>r al-Ma`a>rif, 35. Ibnu Arabi,Fus}u>s al-H{ikam, Edited by Abu al-Ala al-Fifi, Beirut Da>r al-Kita>b al-’Arabiyyah, Ibnu Araby, Fus}u>s..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 11, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Qas}d al-Mujarrad..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Tanwi>r fi> Isqa>t} al-Tadbi>r, Kairo Da>r al-Sala>tsah, 2007, Ibnu Athaillah, Al-Qas}d al-Mujarrad fi>..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 15, 33, 97, 98. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 165Vol. 14, No. 2, September 2016ontologis, wujud segala yang ada dengan sendirinya akan terhapuskerena sifat ah}adiyyah’ Karena dalam tahap ini apabilamasih ada wujud lain bersama’ wujud Allah, maka sifat ah}adiyyah’tidak terealisasikan, konsekuensinya akan ada sifat keterbilangandan kebersekutuan dalam diri proses syuhu>d al-ah}adiyyah’, juga tersingkap hakikatketuhanan secara global. Sehingga mereka tidak mengerti maksudketersingkapan tersebut. Hal ini karena bentuk kuantitas ataukualitas ketersingkapan tersebut berada di luar nalar akal setelah proses ketersingkapan tersebut terjaga baru seorangarif akan mengerti maksudnya secara syuhu>d al-ah}adiyyah’ Ibnu Athaillah sebenarnya tidakjauh berbeda dengan sufi-sufi yang lain. Misalnya Imam al-Ghazalimenyebut tingkatan ini sebagai fana> fi> al-tawh}i>d’ atau tawh}i>d al-muqarrabi>n’.45 Al-Attas menyebutnya The Unity of Existence’. Lebihjauh al-Attas menggambarkan bahwa tahapan ini disepakati olehmayoritas sufi seperti Junaid al-Baghdadi, Abu Nashr al-Sarraj, Alial-Hujwiri, Abu al-Qasim al-Qushayri, Abd Allah al-Ansari, al-Ghazali, Ibnu Arabi, Sadr al-Din al-Qunyawi, Abd Razaq al-Qashani,Dawud al-Qasyari, dan Abd al-Rahman Ibid., 46, Ibnu Ibad al-Arundy, Ghaits Mawa>hib al-Aliyyah…, Jil. 1, 103-104; Abu Hamidal-Ghazali, Misyka>t al-Anwa>r, Edited by Abd al-Aziz Izzu al-Din al-Siruwan, Beirut Ab, 1986 M, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 32, 141. Hal ini juga diaminioleh sufi yang lain seperti Imam al-Qusyairi. Lihat Zaruq al-Afasi, H{ikam al-At}a>iyyah,Kairo Da>r al-Syu’aib, 1985, Abu Hamid al-Ghazali, Ih}ya> Ulu>m al-Di>n, Jil. 4, Semarang Usaha Keluarga, 240; Abu Hamid al-Ghazali, Misyka>t..., Ia mengatakan “This School this school presented type of intuition of existensepresented the vision of reality as as they envisaged it based on the second type of intuition ofexistence. They affirmed the transcendent unity of existence wah}da>t al-Wuju>d. Among thenotable early representatives of this school after Junaid were Abu Nashr al-Sarraj, Ali al-Hujwiri, Abu al-Qasim al-Qushayri and Abd Allah al-Ansari. To this school also belonged al-Ghazali. But their chief exponent was Ibnu Arabi, who first formulated what originally given inintuition of existence into an intregated metaphisics expressed in rational and intellectual his erudite commentators were Sadr al-Din al-Qunyawi, Abd Razaq al-Qashani,Dawud al-Qasyari, Abd al-Rahman al-Jami; and his doctrine of the Perfect Man al-Insa>n al-Ka>mil was developed by Abd al-Karim al-Jili. The philosophical expression of transcendentunity was formulated by Shadr al-Din al-Shirazi, called Mulla Shadra, whose metaphisicsbears marked traces of the thoughts of Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Araby, and Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam an Expositionof the Fundamental Element of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur ISTAC, 1995, 214-215. Moh. Isom Mudin166Journal KALIMAHKondisi SpiritualPenyaksian atas keesaan mutlak syuhu>d al-ah}adiyyah yangdialami seorang a>rif bi Allah’ memengaruhi sisi psikologis Athaillah menyebutkan bahwa tingkatan kondisi psikologisseseorang; pertama, mereka tenggelam dalam cahaya tauhid,sehingga segalanya menjadi sirna. Dengan kata lain, ketidaksadaranakan sekitar sakr mengalahkan kesadaran sahw mereka,penyaksian tunggal jam` mangalahkan penglihatan pada makhlukfarq, fana>`nya mengalahkan baqa>’, ketidakhadiran bersamamakhluk ghaibah mengalahkan hadirnya mereka h}ud}u>r.47Setelah keadaan ini berlangsung, apabila dia sadar maka akan naikke kelompok kedua, namun dimungkinkan mereka tidak di-kembalikan sebagaimana keadaan tingkatan a>rif bi Alla>h’ yang kedua lebih sempurnadibanding yang pertama. Kelompok ini juga merasakan apa yangdirasakan oleh kelompok pertama, namun mereka disadarkan olehAllah, setelah sakr mereka juga mengalami sahw, setelah ghaibahmereka juga mengalami h}ud}u>r, sehingga jam’ tidak menghalangifarq ataupun sebaliknya. Begitu kondisi-kondisi yang lain sepertifana>’ dan baqa>’.49 Namun, kesadaran pertama mereka memilikiperbedaan dengan kesadaran yang kedua, mereka selalu bersamaAllah dalam segala Sehingga, mereka dapat mengendali-kan pikiran kesadaran akan al-atsar ini memiliki perbedaandengan penglihatan sebelum mencapai makrifat. Mereka kembalidengan memakai cahaya kiswah al-anwa>r dan hidayah penglihatanbatin hida>yah al-istibs}a>r. Sehingga mereka kembali kepada Allahda ri al-atsar terseb ut sebaga imana mereka m e n uju Allahmeninggalkan al-atsar. Jadi, hati mereka sudah tidak terbelenggudan tertawan oleh sisi lain, terjadi perbedaan ungkapan dalam meng-ekspresikan hakikat yang tersingkapkan pada mereka. Ekspresiini dalam istilah Ibnu Athailah disebut “al-isya>rah” dan “al-’iba>rah”.47 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Muka>taba>t..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Muna>ja>h..., 73, 21. Kondisi seperti ini dalamistilah Sayyid Naquib al-Attas disebut first separation’ al-farq al-awwal dan secondseparation’ al-farq al-tsa>ni>. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena…, 178. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 167Vol. 14, No. 2, September 2016Kelompok pertama sering tidak bisa mengendalikan gejolak jiwamereka karena menerima tajalli yang tidak tergambarkan faid}a>nwujd.52 Tak jarang ketika sampai pada tahap tertentu sering keluarekspresi-ekspresi spiritual yang sulit dicerna syat}a>h}at karenatarikan Kebanyakan ekpresi ini diingkari oleh orangyang Kondisi ini tidak terpuji karena berusahamengungkap rahasia ketuhanan padahal mereka belum itu mereka sebenarnya belum sempurna karena meng-anggap bahwa Allah lebih dekat daripada ekspresi tersebut, artinyamasih terdapat rukun’ kelompok kedua, mereka dapat menguasai dirimereka dalam proses tajalli. Mereka fana dari kefanaan,57 merekada lam ekstra kedekatan sehi ngga tidak merasakan Lisan terkunci tanpa Isya>rah akan hakikatketuhanan tersebut tidak terucap ketika tajalli namun merekakeluarkan ketika perlu, adakalanya untuk memberikan bimbinganke pada mur Ekspresi ini bai k is ya>ra h maupun iba>ra hkebanyakan diterima oleh siapa yang mendengar,61 karena ekspresitersebut dapat dipahami orang Ibnu Athaillah mengambiljalan moderat dalam isya>rah, yaitu secara lahir ada perpisahannamun secara batin merasakan hal tersebut al-farq ala lisa>nikmauju>dan wa al-jam’ fi> bat}i>nik mayhu>da.6352 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 40, Contoh syat}a>h}at, seperti aku bukan aku aku aku, karena aku adalah Dia, akuDia’, Ungkapan ini sering dialamatkan kepada Abu Yazid, lihat Qasim Muhammad `Abbas,Abu> Yazi>d al-Bust}a>miy al-Majmu>`ah al-S}u>fiyyah al-Ka>milah, Damaskus al-Mada>, 2004,42; Aku yang Maha Benar` Ana al-H}aq, lihat Lois Massignon, Di>wa>n al-Halla>j, ParisMansyurat Asmar, 2008, 22. Tiada sesuatu dalam diri ini kecuali Allah’ ma> fi> al-jubbahilla Alla>h, lihat al-Syarqawi, Syarh} al-H}ikam bi Ha>misy Syarh} al-H}ikam Ibn Iba>d, Jil. 2,Indonesia Da>r Ih}ya> al-Kutub al-Arabiyyah, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if ..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 40, 184, Ibid., 20, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Mifta>h} al-Fala>h wa Mis}ba>h}..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 20, Ibid., 40, 184, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 40, 184, Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat}a>if..., 159-160. Moh. Isom Mudin168Journal KALIMAHTersingkapnya HijabDengan demikian dapat dikatakan hijab antara seorang a>rifbi Allah dengan Allah sudah terbuka. Dalam hal ini Ibnu Athaillahmenyebutkan sepuluh sebab kondisi tersingkapnya hijab arif menyaksikan Allah karena beberapa hal, pertama,Allahlah yang menampakkan segala sesuatu. Kedua, Dia tampakpada segala sesuatu. Ketiga, Dia ada dalam segala sesuatu. Keempat,Dia tampak untuk segala sesuatu. Kelima, Dia tampak sebelumsegala sesuatu. Keenam, Dia lebih tampak dari segala Dia Esa tanpa ada sesuatu yang bersama-Nya. Kedelapan,Dia lebih dekat dari segala sesuatu. Kesepuluh, jika bukan karenaDia, segala sesuatu tidak akan terwujud. Proses tersingkapnya hijabini merupak an bukti kekuasaan Tuhan, kare na bagaima nakeberadaan wuju>d bisa tampak dalam ketiadaan adam. Atau,bagaimana mungkin sesuatu yang baru bisa bersanding denganyang Maha Allah dalam Setiap TindakanPenyaksian a>rif bi Alla>h terhadap cakarawala al-kaun danal-atsar terbagi menjadi beberapa bentuk; menyaksikan Allahdalam segala sesuatu,65 menyaksikan Allah pada atau bersama segalasesuatu, menyaksikan Allah sebelum melihat segala sesuatu,menyaksikan Allah setelah melihat segala sesuatu. Hal ini karenapenglihatan batin mereka merasakan bahwa keberadaan alam iniawalnya gelap kemudian diterangkan oleh cahaya masing-masing penyaksian ini adalah pertama,mereka melihat Allah sebagai Zat yang Maha Jelas al-Z{a>hir danber-tajalli dengan asma dan sifat-Nya dalam segala mereka mengatakan, “Aku tidak melihat segala sesuatukecuali aku melihat Allah di dalamnya.” Penyaksian seperti ini jugadisebut musya>hadah fi`l bi fi`l’. Kedua, mereka melihat Allah sebagaiZat yang Maha Mengetahui al-Adir, segalayang ada sangat bodoh dan lemah. Penyaksian seperti ini jugadisebut musya>hadah s}ifah bi s}ifah’ sehingga mereka mengatakan,“Aku tidak melihat segala sesuatu kecuali aku melihat Allahbersamanya.” Ketiga, mereka melihat Allah sebagai Wuju>d Qidam’,64 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ikam al-At}a>iyyah..., 6, Ibid., Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 169Vol. 14, No. 2, September 2016segala yang ada hanya bersifat baru dan nihil al-h}udu>ts wa al-adam, sehingga mereka mengatakan, “Aku tidak melihat segalasesuatu kecuali aku melihat Allah sebelumnya.” Penyaksian sepertiini juga disebut musya>hadah Dzat bi Dzat’. Keempat, merekamelihat Allah sebagai wujud yang Kekal Baqa>’, segala yang adahanya fatamorgana fana>’, sehingga mereka mengatakan, “Akutidak melihat segala sesuatu kecuali aku melihat Allah sesudahnya.”Penyaksian seperti ini tidak terdeteksi oleh isya>rah dan iba> pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa makrifatpara sufi bukanlah hasil penalaran spekulatif melainkan hasil daripenyaksian langsung terhadap Allah SWT. Makrifat adalahmenetapkan eksistensi Allah, transendensi kesucian, sifat-sifatdengan sebenarnya, juga bentuk penyaksian batin dan keyakinansebagai buah dari ibadah. Inti makrifat adalah kelemahan untukmencapai makrifat hakiki, karena yang dapat mengenal Allahhanyalah Allah sendiri, sedangkan makhluk hanya dapat mengenal-nya s esuai kemampuan mereka, maka kele mahan dala mbermakrifat adalah jalan yang dapat ditempuh bisa dengan jalan normalsuluk atau jalan tarikan langsung jadzab’. Dalam pandangan IbnuAthaillah jalan jadzab lebih utama dibandingkan dengan mereka dapat mengenal Allah lebih cepat dibanding jalansuluk. Jalan suluk maupun jadzab ini adalah representasi dari duatingkatan ihsan. Namun demikian, belum ditemukan dengan jelaslangkah formal meniti jalan jadzab. Jalan suluk ini bisa dilalui olehsiapapun sehingga bisa diterapkan dalam masyarakat. Tidakde mikian den gan jadzab, jal an ini sulit dite r apkan dal mencapai tahap wus}u>l dalam bentuk makrifat, paraarif akan menyaksikan keesaan mutlak syuhu>d al-ah}adiyah yangberada di luar jangkauan akal dan logika pikiran. Mereka menyaksi-kan dengan h}aqq al-bas}i>rah’ mereka. Penyaksian atas keesaan66 Ibnu Athaillah, al-Qas}d al-Mujarrad..., 22, 23. Apabila ditelusuri lebih lanjut,proses penggabungan penyaksian Allah dan alam ini berasal dari Syaikh Ibnu Masyis,guru dari generasi pertama Tarekat Syadziliyyah. Lihat Abd Halim Mahmud, Qad}iyyahal-Tas}awwuf al-Madrasah al-Sya>dziliyyah, Kairo al-Maktabah al-Taufi>qiyyah, 2010, 19. Moh. Isom Mudin170Journal KALIMAHmutlak syuhu>d al-ah}adiyyah yang dialami seorang a>rif bi Alla>hmemengaruhi sisi psikologis mereka. Pertama, mereka merasakanfana>’, jam`, ghaibah, sakr, dan kondisi yang lebih sempurna adalahpenggabungan fana>’ dan baqa>’, sakr dan shahw, ghaibah dan hud}u>r,jam` dan farq. Penyaksian dan kondisi spiritual mereka meme-ngaruhi penglihatan mereka pada alam sekitar. Di mana merekamenyaksikan fi`l dengan fi`l, s}ifah dengan s}ifah, dza>t dengan dza> Allah di segala sesuatu, dalam segala sesuatu, sebelumalam, sesudah segala sesuatu. Secara keseluruhan teori makrifatIbnu Athaillah adalah inti tauhid yang menggabungkan Islam,iman, dan saran-saran adalah sebagai berikut; tasawuf merupa-kan roh peradaban Islam, oleh sebab itu, mengkaji dan menerapkan-nya dalam kehidupan merupakan sebuah keniscayaan. Sejauh ini,banyak peneliti yang antipati terhadap tasawuf dan menghakimi sufidengan sesat bahkan kufur, atau yang menelan mentah-mentahajarannya sesuai makna literal kalimat. Maka sebaiknya, peneliti harusmemahami bahasa mereka dan merasakan apa yang mereka PustakaAbbas, Qasim Muhammad. 2004. Abu> Yazi>d al-Bust}a>miy al-Majmu>ah al-S{u>fiyyah al-Ka>milah. Damaskus al-Mada>.Abd al-Munim, 1992. Al-Mausu>ah al-S{u>fiyyah Ala>m al-Tas}awwufwa al-Munkiri>n alaih wa al-T{uruq al-S{u>fiyyah. Kairo Dar> al-Irsya> Zaruq. 1985. H{ikam al-At}a>iyyah. Kairo Da>r al-Syu’ Ibnu Ibad. Ghaits Mawa>hib al-A Syarh}al-H{ikam al-At}a>iyyah, Jil. 2. Indonesia Da>r Ih}ya> al-Kutubal- Ibnu Hajar. 1993. Al-Durar al-Ka>minah fi>Aya>n Miahal-Tsa>minah, Vol. 1. Beirut Da>r al-Ji> Syed Muhammad Naquib. 1995. Prolegomena to theMetaphysics of Islam an Exposition of the Fundamental Elementof the Worldview of Islam. Kuala Lumpur William C. 2007. Sufism a Short Introduction. UK OneWorld Abu Hamid. 1986. Misyka>t al-Anwa>r, Edited by Abdal-Aziz Izzu al-Din al-Siruwan. Beirut Ab. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari 171Vol. 14, No. 2, September 2016. Al-H{ikmah fi> Makhlu>qa>t Alla>h Azza wa Jalla. KediriMuhammad Utsman.. Al-Munqidz min al-D{ala>l. Beirut al-Maktabah al-Syabiyah.. Ih}ya>Ulu>m al-Di>n, Jil. 4. Semarang Usaha Arabi. Fus}u>s al-H{ikam, Edited by Abu al-Ala Da>r al-Kita>b al-’ Manzur. Lisa>n al-Arab. Kairo Da>r al-Ma’a> Sina. 1957. Al-Isya>rat wa al-Tanbi>ha>t, Edited by SulaimanDunya. Mesir Da>r al-Maa>rif.. 1985. Kita>b al-Naja>t, Edited by Majid Makhri. Beirut Da>ral-Aq al-Jadi> Muhammad al-Adluni. 2002. Mujam Mus}t}ala>h}a>t al-Tas}awwuf al-Falsafiy. Jordan Da>r al-Tsaqa> Abu al-Baqa.1997. Mujam al-Kulliya>t fi> al-Mus}t}alah}a>twa al-Furuq al-Lughawiyyah, Edited by Adnan Darwis danMuhammad al-Musry. Beirut Muassasah al-Risa> Abu Bakar. 1993. Al-Taarruf li Madzhab Ahl al-Tas}awwuf. Beirut Da>r al-Kutub al- Ibrahim. 1983 M/1403 H. Al-Mujam al-Falsafi. Kairoal-Haiah al- Abd al-Qahir. 1966. Falsafah al-S{u>fiyyah fi> al-Isla> Da>r al-Fikr al- Abd Halim. 2010. Qad}iyyah al-Tas}awwuf al-Madrasahal-Sya>dziliyyah. Kairo al-Maktabah al-Taufi> Ibnu Farhun. 1415 H. Al-Di>ba>j al-Madzhab fi> MarifahAya>n Ulama>’ al-Madzhab, Vol. 1. Kairo Da>r al-Tura> 1326 H. Al-Mawa>’iz} wa al-Itiba>r bi Dzikr al-Khut}at}wa al-Atsa>r, Vol. 4. Mesir Maktabah Ji>l.. 1997. Al-Sulu>k li Marifah Duwal al-Mulu>k Vol. 1. Editedby M. Abd al-Qadir Atha. Beirut Da>r al-Kutub al- Lois. 2008. Di>wa>n al-Halla>j. Paris Mansyurat Abu al-Husain. 1998. S{ah}i>h} Muslim. Riyadh Bait al-Afka>ral-Dauliyyah. Moh. Isom Mudin172Journal KALIMAHAl-Nabhani, Yusuf Ismail. 2001. Ja>mi’ Kara>ma>t al-Awliya>’, Vol. Maraz Ahl Sunnat Amir. Al-T{uruq al-S{u>fiyyah fi> Mis}r Nasyaatuha> waNaz}muha>wa Wuru>duha>. Kairo Da>r al-Maa> Al-Kamsykhawi. 1298 H. Ja>mi al-Us}u>l fi> al-Awliya>wa Anwa>ihim wa Aws}a>fihim wa Us}u>l Kulli T{ari>qin waMuhimmah al-Muri>d wa Syuru>t} al-Syaikh wa Kalimah al-S{u>fiyyah wa Is}t}ila>h}uh um wa Anwa> al-Tas}awwuf waMaqa>ma>tuhum. Mesir al-Mat}baah 1989 M/1409 H. Risa>lah Qusyairiyyah. Edited bySyekh Abd Halim Mahmud bin Syarif. Kairo Da>r al-Sya Ibnu Athaillah. 2002. Al-Qas}d al-Mujarrad fi> Marifahal-Ism al-Mufrad, Edited by Mahmud Taufiq al-Hakim. MesirMaktabah Madbu>li.. 2006. Al-H{ikam al-At}a>iyyah al-Kubra wa al-S{ugra wa al-Muka>taba>t. Beirut Da>r al-Kutub al-’Alamiyyah.. 2006. Lat}a>if al-Mina>n. Edited by Abd Halim Da>r al-Ma’a>rif, Cet. 3.. 2007. Al-Tanwi>r fi> Isqa>t} al-Tadbi>r. Kairo Da>r al-Sala>m al-H{adi>tsah.. Mifta>h} al-Fala>h} wa Mis}ba>h} al-Arwa>h} fi> Dzikrilla>h al-Kari>m al-Fatta>h. Beirut Da>r al-Kutub al-Aj al-Aru>s al-H}a>wi> li Tahdzi>b al-Nufu>s. Kairo Jawa>mi’ Syarh} al-H}ikam bi Ha>misy Syarh} al-H{ikam IbnIba>d, Jil. 2. Indonesia Da>r Ih}ya> al-Kutub al- Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. 1957. Dira>sa>t fi>al-Falsafahal-Isla>miyyah. Kairo Maktabah al-Qa>hirah al-H{adi>tsiyyah.. 1969. Ibn At}a>illah wa Tas}awwufuh. Kairo Maktabah al-Mis}riyyah, Cet. Abu Nashr Siraj. 1960. Al-Luma fi> al-Tas}awwuf, Editedby Abd Halim Mahmud and Abd al-Baqi al-Surur. Kairo Da>ral-Kutub al-H{adi>tsiyyah.} Achmad FauziAndewi SuhartiniNurwadjah AhmadPendidikan merupakan tahap penting dalam menumbuhkan, mengembangkan, dan memperkuat kesadaran diri manusia ma’rifatun nafs. Pendidikan dalam tujuannya harus mampu menjadi jalan manusia untuk mengenali dirinya ma’rifatun nafs sehingga mampu meeraih tujuan yang utama yang mengenali Tuhannya ma’rifatullah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan makna pendidikan sebagai upaya pengembangan kesadaran manusia ma’rifatun nafs. Penelitian ini menggunakan jenis studi kepustakaan library research, metode deskriptif dan pendekatan kualtitatif. Pendekatan ini digunakan karena data-data atau bahan-bahan yang diperlukan dalam menyelesaikan penelitian tersebut berasal dari perpustakaan baik berupa buku, ensklopedi, kamus, jurnal, dokumen, majalah dan lain sebagainya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan sangat penting dalam upaya kesadaran diri ma’rifatun nafs manusia sebagai jalan menuju tujuan pendidikan yang utama yaitu ma’rifatullah. Namun, ada beberapa masalah yang dihadapi Terkadang, ada di antara manusia ingin menggapai ma'rufatullah tanpa memulai pemahaman lebih mendalam siapa dirinya sesungguhnya ma'rifatun nafs. Akhirnya, manusia tersebut tidak akan menemukan apa-apa kecuali keputusasaan atau kerancuan dalam pemikiran. Selama seseorang ada rasa “keakuannya” maka hal tersebut belum dapat disebut ma'rifatunnafs. Dengan demikian, ma'rifatunnafs sesungguhnya tidak lain adalah ma' NasihinThis study is aimed at describing the philosophical meaning of advice of Sasak parents from the perspective of Sufism. The advice reads mbe mbe laine lampaq dendeq lupaq jauq gaman mane manen besi polka”. This study is a literature study attempting to investigate the concept of Sasak Makrifat theoretically and philosophically. The researcher believes that the advice besides having an outward meaning also holds a very depth spiritual meaning in which gaman is not only a weapon as is generally, but also, gaman is another term for religion. After describing the meaning behind the term of the gaman, it can be concluded that the meaning of the advice is "wherever you go, do not forget your religious teachings. Please continue to repent so that the door of the search will open that will bring you to the climax point to meet the Lord. Then, you express your thanks. If you are not able to walk through these stages, it is enough to understand the meaning of His name from the initial letter of ba ' from the piece of bismillah word which means the beginning of everything ". William L. DamGIS A Short Introduction. N. Schuurman. 2004. Blackwell Publishing, Williston, VT. 169 pp. $ paperback. The technological revolution has changed our world, and the evolution of computer technology continues to redefine the landscape. In terms of computerized mapping of multidisciplinary fields of study, Professor Nadine Schuurman presents overwhelming scientific evidence of the indispensability of geographic information systems GIS.Ibnu 'Arabi, Fus} u> s al-H{ ikam Fus} u> s..., 90. 36 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ ikam al-'At} a> iyyah Da> r al-Sala> tsahIbnu MandzurIbnu Mandzur, Lisa> n al-'Arab, Kairo Da> r alMàa> rif, 35. Ibnu 'Arabi, Fus} u> s al-H{ ikam, Edited by Abu al-Ala al-Fifi, Beirut Da> r al-Kita> b al-'Arabiyyah, 90. 35 Ibnu Araby, Fus} u> s..., 90. 36 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ ikam al-'At} a> iyyah..., 11, 38. 37 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Qas} d al-Mujarrad..., 60. 38 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-Tanwi> r fi> Isqa> t} al-Tadbi> r, Kairo Da> r al-Sala> tsah, 2007, 246. 39 Ibnu Athaillah, Al-Qas} d al-Mujarrad fi>..., 59-60. 40 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Lat} a> if..., 160-161. 41 Ibnu Athaillah al-Sakandari, Al-H{ ikam al-'At} a> iyyah..., 15, 33, 97, Yazi> d al-Bust} a> miy alMajmu> 'ah al-S{ u> fiyyah al-Ka> milahDaftar Pustaka 'abbasQasim MuhammadDaftar Pustaka 'Abbas, Qasim Muhammad. 2004. Abu> Yazi> d al-Bust} a> miy alMajmu> 'ah al-S{ u> fiyyah al-Ka> milah. Damaskus al-Mada>.Al-Mausu> 'ah al-S{ u> fiyyah A'la> m al-Tas} awwuf wa al-Munkiri> n 'alaih wa al-T{ uruq al-S{ u> fiyyahAbd Al-Mun 'imAbd al-Mun'im, 1992. Al-Mausu> 'ah al-S{ u> fiyyah A'la> m al-Tas} awwuf wa al-Munkiri> n 'alaih wa al-T{ uruq al-S{ u> fiyyah. Kairo Dar> alIrsya> ikam al-'At} a> iyyah. Kairo Da> r al-Syu'aibZaruq Al-AfasiAl-Afasi, Zaruq. 1985. H{ ikam al-'At} a> iyyah. Kairo Da> r al-Syu' Mawa> hib al-'A Syarh} al-H{ ikam al-'At} a> iyyah, Jil. 2. Indonesia Da> r Ih} ya> al-Kutub alIbnu Al-ArundiT IbadThAl-Arundi, Ibnu Ibad. Ghaits Mawa> hib al-'A Syarh} al-H{ ikam al-'At} a> iyyah, Jil. 2. Indonesia Da> r Ih} ya> al-Kutub al-' al-Ka> minah fi> A'ya> n Miah al-Tsa> minahIbnu Al-'asqalaniHajarAl-'Asqalani, Ibnu Hajar. 1993. Al-Durar al-Ka> minah fi> A'ya> n Miah al-Tsa> minah, Vol. 1. Beirut Da> r al-Ji> to the Metaphysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of IslamAl-AttasMuhammad SyedNaquibAl-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1995. Prolegomena to the Metaphysics of Islam an Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam. Kuala Lumpur Al-GhazaliHamidAl-Ghazali, Abu Hamid. 1986. Misyka> t al-Anwa> r, Edited by Abd al-Aziz Izzu al-Din al-Siruwan. Beirut 'A ikmah fi> Makhlu> qa> t Alla> h 'Azza wa Jalla. Kediri Muhammad UtsmanT Al-H{ ikmah fi> Makhlu> qa> t Alla> h 'Azza wa Jalla. Kediri Muhammad Utsman.

. 63 455 136 51 80 490 497 57

jodoh menurut ibnu athaillah